Pada akhirnya, berdasarkan hasil Sidang Paripurna
DPR yang hingga larut malam itu, bukan hanya Fraksi PDIP yang terperangkap
dalam politisasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM), tetapi nyaris semua
fraksi. Kandas pula niat pemerintah untuk mengerek kenaikan harga BBM per 1
April 2012.
Ironisnya, di tengah hiruk-pikuk perdebatan
politis dan ekonomis kebijakan harga BBM, semua pihak terpaku pada
Undang-Undang tentang APBN 2012 saja. Seolah hanya itu undang-undang yang layak
dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan harga BBM. Padahal, secara normatif,
ada undang-undang yang terlupakan (sengaja dilupakan), yakni UU Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi.
Seharusnya, berbasis UU Energi, maka tidak akan
terjadi perdebatan yang tidak diperlukan ihwal harga BBM. Sebab, UU Energi
inilah yang seharusnya menjadi rujukan utama (“undang-undang payung”) bagi
pemerintah dan DPR dalam menggulirkan kebijakan energi nasional, termasuk dalam
hal kebijakan harga BBM. Dengan gamblang UU Energi menyebutkan bahwa harga
energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan (Pasal 7 ayat 1).
Boleh jadi pasal semacam ini akan dihantam dengan isu pasal neolib, alias
kental dengan kepentingan asing. Lagi-lagi, klaim semacam ini juga kurang
tepat. Sebab, Pasal 7 ayat 1 tidak serta-merta hanya mengacu pada keekonomian an
sich, tetapi diikuti dengan kata “berkeadilan”. Konteks berkeadilan
dimaksud dengan gamblang dijawab dengan ketentuan berikutnya bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak
mampu (Pasal 7 ayat 2).
Dengan demikian, sekalipun basisnya harga
keekonomian, tidak kemudian harga energi mengharamkan subsidi. Tetapi, amanat
UU Energi juga menegaskan bahwa subsidi hanya diberikan kepada kelompok
masyarakat yang tidak mampu. Pertanyaan krusialnya, siapakah yang dimaksud
kelompok masyarakat yang tidak mampu? Jelas bukan pengguna kendaraan pribadi
yang dimaksud, yang selama ini menikmati lebih dari 90 persen BBM bersubsidi.
Jika mengacu pada standar Badan Pusat Statistik, maka yang dimaksud kelompok
masyarakat yang tidak mampu (miskin) adalah masyarakat yang berpenghasilan Rp
18.500 per hari. Atau, di bawah 2 US$ per hari kalau mengacu pada standar World
Bank. Sangat tidak masuk akal kalau pengguna kendaraan pribadi digolongkan sebagai
masyarakat yang tidak mampu (miskin), sekalipun itu pengguna kendaraan pribadi
roda dua (sepeda motor).
Jika mengacu pada keterangan Kementerian ESDM,
idealnya harga keekonomian Premium berkisar Rp 7.500-Rp 8.000 per liter. Jadi,
kalau pemerintah hendak menaikkan harga BBM hingga Rp 1.500 per liter (untuk
Premium), maka artinya harga tersebut masih belum relevan dengan harga
keekonomian, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU tentang Energi. Sekalipun
harga Premium Rp 6.000 per liter, selain belum menyundul harga keekonomian,
juga masih di bawah harga BBM di beberapa negara di wilayah ASEAN.
Lihatlah harga BBM di Singapura (grade
92) Rp 15.695, Filipina (unleaded) Rp 12.147, Thailand (blue
gasoline 91) Rp 12.453, dan Malaysia (RON 95) Rp 5.753. Maka, dengan
demikian, harga BBM Rp 4.500 per liter di Indonesia adalah terendah di ASEAN.
Tingginya disparitas harga semacam ini, khususnya di daerah-daerah perbatasan,
sangat berbahaya karena terjadi penyelundupan dan distorsi pasokan yang sangat
serius. Akibatnya, kelangkaan BBM terjadi di berbagai daerah perbatasan.
Sayangnya, keberadaan UU tentang Energi seperti
dibenamkan pada tong sampah. Dan kemudian direduksi habis oleh UU tentang APBN
2012, yang mengharamkan kenaikan harga BBM; sekalipun toh via sidang Paripurna
DPR kemarin, diselipkan klausul (Pasal 7 ayat 6A) bahwa pemerintah bisa
menaikkan harga BBM jika harga ICP (Indonesian Crude Price) telah telah
melewati 15 persen. Padahal, jika mengacu pada asas hukum, UU tentang Energi
seharusnya menjadi “undang-undang payung” untuk pengelolaan dan kebijakan di
bidang energi, termasuk dalam kebijakan harga BBM.
Dengan demikian, adalah bertentangan secara
diametral terhadap Undang-Undang tentang Energi jika pemerintah dan DPR tidak
menjadikan UU Energi sebagai rujukan utama. Apalagi kalau harga BBM masih
kental dijadikan komoditas politik yang berkepanjangan. Karena itu, berbasis UU
Energi, pemerintah (dan DPR) harus mempunyai road map yang jelas,
terukur, dan terarah dalam soal harga dan subsidi BBM ini. Jelas sangat tidak
produktif dari sisi ekonomi dan lingkungan global jika mempertahankan subsidi
BBM.
Sebagai komoditas yang menimbulkan dampak
eksternal yang serius (bagi lingkungan global), seharusnya BBM dijual dengan
harga yang mahal, sebagai bentuk disinsentif. Bahkan, sebagaimana di
negara-negara Eropa, BBM dikenai pajak (gasoline tax). Namun praktek
di negara-negara Eropa juga, kendaraan petani yang dijadikan alat untuk
mengangkut produk pertanian masih diberi subsidi, dengan cara memberikan warna
yang berbeda pada bahan bakarnya. Apakah ini bisa dilakukan di Indonesia, dan
bagaimana pula pengawasannya?
Jadi, payung hukum pengelolaan energi (harga BBM)
yang paling ideal seharusnya adalah UU tentang Energi. Sedangkan undang-undang
yang lain, termasuk UU APBN 2012, hanyalah komplementer. Sudah saatnya
pemerintah dan DPR membebaskan diri dari penjara politisasi kebijakan subsidi
BBM (yang notabene produk Orde Baru), dan kemudian mengelola energi dengan
pendekatan harga yang berkelanjutan, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun
lingkungan global. Tanpa itu, subsidi BBM hanya akan menjadi benalu bagi sisi
anggaran di ABPN (siapa pun rezimnya), dan sektor ekonomi makro. Dan masyarakat
akan makin sulit dipisahkan dari fenomena kecanduan subsidi BBM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar